Postingan

Public Speakingku Ambyar and I'm not Proud

Hari ini, aku rasanya ingin menenggelamkan kepala ke dalam tanah, menghirup udara pakai kulit kayak cacing dan tinggal selamanya di sana. Cuma tinggal "glugget-glugget".  Jadi, alasan kenapa aku rasanya ingin begitu-begitu adalah karena aku sedih banget dan malu karena caraku menjwab interview tadi siang menjelang sore. Aku rasanya kayak jadi anak kecil yang malu-malu ditanya nama sama orang asing, dan I told you, I messed up big time. Huhuhu. Sudah lama banget aku nggak presentasi dan nggak pernah interview buat kerja lagi. Kalau aku ingat yang dulu, kayaknya interviewku lancar aja. Tapi entah kenapa, yang ini dan yang sebelumnya bener-bener bikin ingin nangis gulung-gulung. Aku cuma ingin menjawab dengan baik. Kenapa otak dan mulutku nggak mau berkoordinasi dengan sempurna? Rasanya ingin hilang ingatan banget. Aku rasa emang udah saatnya aku belajar ulang public speaking dan banyak baca-baca buku. Kalau sampe aku keterima, wow... aku bersyukur banget sih ini. Aku bakal lomp

Untitled (1)

Tengah malam, Tugu Jogja masih padat dengan manusia yang riuh redam berkompetisi dengan suara mobil dan motor ngeber yang lalu lalang di jalanan. Kita duduk di salah satu angkringan yang menurutku overprice . Hanya karena tempatnya di dekat tugu bukan berarti harganya bisa selangit kan? Dibanding dari harga nasi kucing yang empat ribu perbungkus, aku lebih kaget dengan tukang parkir yang tiba-tiba meminta kita bayar sama harga seperti sebungkus nasi kucing tersebut. Harusnya kita pergi ke angkringan belakang sekolahku saja biar murah. Tapi ya sudahlah, aku cuma ingin menikmati malam sebentar sebelum kamu pergi. Kamu bilang besok akan pergi kembali ke ibu kota, kota kelahiranmu. Kamu selalu tertawa kecil ketika aku marah karena harga makanan di kotaku melambung tinggi. Bagimu harga-harga di sini murah sekali dan aku akan menimpali, “ya gara-gara orang macem kamu bilang murah, orang di sini pada naikin harga!”. Lalu aku akan lanjut mengomel dan kamu mendengarkan celotehku soal hidup ya

Marah-Marah yang Belum Kelar

Gambar
Kursi rotan yang kududuki berderit saat aku menggerakkan kaki. Aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa diam meskipun harusnya bisa duduk dengan tenang. Mungkin ketenangan adalah musuh yang tidak akan pernah bisa berdamai dengan tangan atau kakiku. Hari ini harusnya aku membuat presentasi untuk pendadaran. Segelas matcha yang tinggal setengah menjadi saksi kalau sejak tadi, bukannya menyelesaikan tugasku, aku malah asyik browsing thriftshop dan nulis-nulis roman picisan nggak jelas. Bukan hanya hari ini, hari-hari sebelumnya harusnya menjadi hari produktif untuk menyelesaikan apa-apa yang harusnya kusiapkan buat sidang. Gelas-gelas matcha yang kupesan hari-hari lalu pasti tertawa karena uang yang kuhabiskan untuk membeli mereka terbuang sia karena aku hanya membuang waktu. Seperti biasa, aku sangat ' avoid 'an terhadap masalah di depan. Dibanding stress memikirkan sidang yang bahkan belum ada jadwalnya (bahkan WhatsApp-ku belum ada jawabannya) (ayolah mas departemen, berikan sa

Sepenggal Kisah Tentang Punggung Ganja

Kadang aku bertanya, kenapa aku selalu suka menatap punggung seseorang yang kusuka dibandingkan berhadapan dengan wajahnya langsung. Fetish kah? Aku tertawa memikirkan itu. Jujur, punggung adalah bagian tubuh yang paling mudah untuk dikagumi. Mata akan terlalu sulit untuk kutatap tanpa merasa malu yang menjalar di wajah. Kaki akan terasa aneh karena aku akan disangka tidak sopan dan pemalu karena terlalu sering menghadap bawah. Perut… orang lain akan mengira aku sedang menatap hal saru-saru yang malah berada di bawahnya. Jadi punggung adalah jarak aman karena orang yang kusukai tersebut tidak perlu tahu aku sedang memujanya Orang ini, yang punggungnya sedang kuingat ketika menulis, akan kupanggil Ganja. Pada tiap-tiap perjalanan singkat dengan Ganja, aku ingat bagaimana rasanya punggung empuk yang bisa kusandari tanpa mengekspektasikan apapun. Punggungnya selalu terasa lembut; entah saat rambut Ganja yang berkibar kala angin menerpa dan sweater biru pudar menutupi tubuh untuk men

Ephipany

Gambar
Today I was reminded by a friend of this picture. She said, "Do u remember crying because your ex didn't write ur name in his thesis?" and I said yes. It was an ordinary night when me and this friend talked about D's (our mutual) Kata Pengantar thesis. D write my name as someone who gave him strength during the time we studied together. I remembered I hadn't seen my ex's thesis (back then he was still my bf), so I rushed to find his thesis and found not a glimpse of me was written there. I knew it seemed like a small thing, but it mattered to me. I was so heart-broken to know a person who briefly knew me appreciates my existence rather than someone who I have been with for 2 years. So I cried that night while holding my first cigar, trying to stop the uncontrolable tears. It's not just about a "there is no thank you" from him that made me upset, it's more than that. It's a feeling of never being heard by him, never considering me as someo

Perjalanan ke Ngobaran dan Hal-Hal Kecil dalam Pikiran

Gambar
Perjalanan ke pantai selalu mendebarkan, penuh ekspetasi, dan perasaan membuncah seolah ingin cepat sampai –meskipun lelah-lelah dan pegal-pegal tubuh saya yang makin jadi seiring bertambah tua. Namanya juga umur, badan ini kadang tidak mau diajak bekerja sama untuk tetap bugar. Pagi itu, saya bersama tiga orang teman lain memutuskan untuk berwisata ke pantai: mari kita sebut saja Andra, Esti, dan Ita. Setelah ngemil gorengan di rumah Andra sampai tandas, makan mie ayam imogiri (sumpah ini enak banget, sayang saya lupa nama warungnya), dan membeli kabel data –karena betapa bodohnya saya yang cuma menggantongi power bank tanpa perantaranya, kami berangkat bermotor ria. FYI, itu pertama kali saya menggunakan power bank putih, hadiah mantan yang harusnya sudah saya simpan dalam kotak kenangan   (jujur itu cuma kotak biasa, tapi biar lebih keren atau… alay, sebut saja kotak kenangan) dan janjikan pada diri sendiri untuk tidak digunakan lagi. Tentu saja, meskipun agak sedih ketika mengi

Surat untuk Sahabat

  Hey Maya, Hari ini aku berhenti di seberang masjid Al-Ikhlas, melongok ke arah lapangan yang dulu sering kali kita lewati untuk menuju ke sungai. Lapangan itu terasa makin mengecil dari tahun ke tahun, mungkin karena sudah terlalu himpit dengan gedung-gedung besar dan ramai riuh Karang Bendo. Tapi sungai itu masih sama seperti dahulu, tiap hari berganti antara kering -berlumpur- basah, tidak tentu dia mau jadi sungai seperti apa. Ah, memangnya tempat itu bisa disebut sungai? Aku tidak akan mendebatkan mengenai definisinya, jadi mari kita sebut sungai saja. Masih ingatkah kamu kita sering senda gurau, marah, menggosip, fan girling-an Boys Before Flower di atas pohon tumbang yang melintang di atas sungai tersebut. Aku baru sadar sekarang agaknya pohon itu menjadi jembatan antara pemukiman dengan lapangan, tapi malah kita kuasai tempat itu. Siang pulang sekolah, kita sudah duduk di atasnya, kadang jongkok, kadang selonjor, kadang berdiri saja, dan sok-sokan menyeimbangkan diri d